ALIH TEKNOLOGI (TECHNOLOGY TRANSFER)
Oleh: Susalit Setyo Wibowo
A. Pengertian Alih Teknologi
Ada beberapa definisi dan pengertian alih teknologi menurut para ahli yang dapat dijadikan acuan, yaitu:
- Alih teknologi akan terjadi bila sebuah kelompok individu (merupakan bagian sebuah organisasi) mempunyai kemampuan efektif untuk menerima (dalam kondisi baik) sebuah atau beberapa fungsi yang berhubungan dengan sebuah teknik tertentu (Seurat, 1979).
- Alih teknologi dapat dimaknai sebagai sekumpulan
pertukaran informasi & energi antara dua unit kerja yang terpisah mengenai
sistem atau sub sistem teknologi (pengetahuan, keterampilan teknik, produk
& proses teknologi), yang dinyatakan dalam bentuk kontrak (Atamer, 1980).
- Alih teknologi dapat dipahami sebagai menjual suatu teknologi (pada sebuah negara) yang akan digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Drouvot, Duran, 1978).
- Alih teknologi adalah suatu suatu proses yang kompleks dan sulit yang mencakup isu legal, kompleksitas teknis, perhitungan finansial, dan pemasaran (Lipinski, et al., 2008).
- The United Nation Conference on Trade Development (UNTAD) draft Code of Conduct on Tranfer of Technology mendefinisikan alih teknologi terjadi pada waktu teknologi dikembangkan dalam suatu konteks kemudian diterapkan pada kontek yang lain, hal ini dimaksudkan untuk penggunaan atau modifikasi baru oleh penerima teknologi atau kedua-duanya, definisi ini hanya menyangkut segi nasional alih teknologi (Zuijdwijk, 1978). Sedangkan dari segi internasional alih teknologi terjadi melalui transaksi antara negara pemilik teknologi dan negara penerima teknologi.
Berdasar definisi dan pengertian alih teknologi menurut para ahli diatas maka dapat diidentifikasikan unsur-unsur yang harus ada dalam suatu proses alih teknologi, yaitu:
1) Ada sesuatu yang dialihkan dari pihak pemberi ke pihak penerima. Sesuatu yang dimaksudkan disini pada umumnya dapat berupa: a). mesin atau barang antara lainnya; b). ahli/pakar; dan, c). iptek, paten, serta informasi lainnya.
2) Ada pihak yang memberi teknologi, yaitu pemilik teknologi hasil penelitian dan pengembangan. Pemilik teknologi ini dapat merupakan individu, kelompok individu, institusi pemerintah maupun institusi swasta.
3) Ada pihak yang menerima teknologi, yaitu pihak yang akan menggunakan teknologi untuk tujuan komersial maupun non komersial. Pihak penerima teknologi ini bisa individu, pemerintah maupun perusahaan.
4) Ada mekanisme transaksi pengalihan dari pihak pemberi kepada pihak penerima, yaitu melalui lisensi, kerjasama, pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi atau publikasi.
Komunikasi antara inventor dengan industri pengguna sering kali tidak mudah dilaksanakan, dimana faktor gaya bahasa yang digunakan oleh inventor dan industri sangat berbeda (Johnson dan Johnston, 2004; Santoro dan Chakrabarti, 1999). Peneliti dengan gaya bahasa akademis sementara pihak industri pengguna menggunakan bahasa bisnis praktis. Faktor lain yang menyebabkan ketidakmulusan komunikasi antara peneliti dan industri pengguna adalah akses ke peneliti (Benner dan Sandstrom, 2000; Fontana et al., 2006; Gulbrandsen dan Smeby, 2005). Tak jarang pihak industri pengguna mengeluhkan rumitnya akses ke peneliti, disebabkan proses birokrasi lembaga penelitian yang dirasa berbelit-belit. Untuk mengatasi faktor-faktor penghalang komunikasi peneliti dengan industri pengguna, lembaga intermediasi memiliki peran sebagai penghubung antara kedua belah pihak.
Tren alih teknologi telah bergeser dari pola riset dimana peran pemerintah dalam pendanaan riset sangat besar, menjurus pada inovasi tertutup (close Innovation), dan interaksi dengan industri dilakukan tidak intensif dengan hanya mengandalkan kepada hubungan antara dosen dan mantan mahasiswanya, atau hubungan personal (lihat Gambar 1), menuju kepada tren alih teknologi yang lebih fleksibel, ada cara pandang yang berbeda terhadap kekayaan intelektual, inovasi terbuka (open innovation), dan merubah model industri (lihat Gambar 2).
Gambar 1. Tren alih teknologi sebelum tahun 1980-an.
Gambar 2. Tren alih teknologi tahun 2008 sampai sekarang.
B. Proses Alih Teknologi
Alih teknologi (technology transfer) adalah proses memindahkan kemampuan, pengetahuan, teknologi, metode manufaktur, sampel hasil manufaktur, dan fasilitas, antara pemerintah, universitas, dan institusi lainnya yang menjamin bahwa perkembangan ilmu dan teknologi dapat diakses oleh banyak pengguna.
The United Nation Conference on Trade Development (UNTAD) draft Code of Conduct on Tranfer of Technology mendefinisikan alih teknologi terjadi pada waktu teknologi dikembangkan dalam suatau konteks kemudian diterapkan pada kontek yang lain, hal ini dimaksudkan untuk penggunaan atau modifikasi baru oleh penerima teknologi atau kedua-duanya, definisi ini hanya menyangkut segi nasional alih teknologi. Sedangkan dari segi internasional alih teknologi terjadi melalui transaksi antara negara pemilik teknologi dan negara penerima teknologi.
Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung penguasaan pemanfaatan dan pemajuan Iptek secara nyata telah dijabarkan dengan diterbitkannya PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Penilaian dan Pembangunan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Dengan adanya PP No. 20 Tahun 2005 diharapkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat serta dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi dan perbaikan kualitas kehidupan bangsa dan negara.
Sedangkan aturan mengenai Alih teknologi ada pada PP 20 Tahun 2005 mengenai Alih Teknologi, diantaranya mengatur (pasal 20): ‘Alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang dilaksanakan melalui mekanisme : a. lisensi; b. kerja sama; c. pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau d. publikasi’.
Alih teknologi, berdasarkan PP 20 Tahun 2005 didefinisikan sebagai pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya. Selanjutnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme : lisensi, kerjasama, pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi atau publikasi.
Secara umum alih teknologi terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu : a). Melalui mesin atau barang antara lainnya; b). Melalui ahli/pakar; dan, c). Melalui iptek, paten, serta informasi lainnya.
Sedangkan mekanisme yang dikenal luas dalam proses alih teknologi umumnya terjadi melalui: Foreign Direct Investment (FDI); Turn-key Package; Technology Lisense Agreements yang terdiri dari : patent lisense, know-how agreements, technical assistance agreements;Joint Ventures; Purchase of equipment; Management Contracts; International Organizations; dan Government aids.
Munculnya PP 20 tahun 2005 masih belum menjamin optimalnya proses difusi dan alih teknologi kepada masyarakat, apabila peran intermediasi dalam lembaga iptek tidak berjalan. Karena proses difusi dan alih teknologi dapat berjalan dengan baik apabila perguruan tinggi dan lembaga litbang dapat berperan sebagai lembaga intermediasi. Tetapi sampai saat ini lembaga litbang masih belum optimal berperan sebagai lembaga intermediasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Prayitno, 2010).
Beberapa perusahaan, universitas, dan organisasi pemerintah memiliki kantor, bagian, atau seksi alih teknologi yang difungsikan untuk mengidentifikasi hasil penelitian yang memiliki potensi komersial dan strategis untuk dimanfaatkan. Suatu hasil penelitian tentu saja memiliki potensi untuk didayagunakan untuk tujuan ilmiah maupun tujuan komersial (tetapi ada yang teknologi yang tidak bisa ditransfer, misalnya fusi nuklir). Syarat untuk alih teknologi:
§ Kualitas (quality) yang nyata keunggulannya,
§ Memberikan manfaat secara ekonomi (cost),
§ Memiliki layanan akuisi dan alih teknologi (delivery),
§ Memberikan keamanan bagi penggunanya, konsumen akhir dan lingkungan (safety),
§ Tidak bertentangan dengan etika, norma, dan keyakinan (moral).
Proses alih teknologi diarahkan pada hilirisasi hasil riset dari Perguruan Tinggi dan lembaga riset. Adapun ciri hilirisasi riset adalah sebagai berikut:
a. Proses spiral dengan tahapan Penelitian-Inovasi-Inkubasi-Bisnis;
b. Luaran bermanfaat bagi rakyat dan memiliki nilai ekonomi;
c. Bersifat multidisiplin dan terpadu;
d. Terdapat komunikasi dan interaksi antara: Peneliti (Perguruan Tinggi / Lembaga Riset), Bisnis / industri, Pemerintah (Pembuat Kebijakan), dan Pengguna / masyarakat
Gambar 3. Tahapan alih teknologi oleh Unit Intermediasi/ TTO.
Sedangkan proses alih teknologi yang melalui Unit Intermediasi/ TTO dapat secara umumnya dimulai dengan seleksi invensi yang hingga proses komersialisasinya (lihat Gambar 3). Dalam komersialisasi hasil invensi dalam Unit Intermediasi/ TTO dilakukan menjadi 2 (dua) pola, yaitu pola lisensi dan pola spin-out (memunculkan usaha baru). Penjelasan 2 (dua) pola tersebut sebagai berikut:
1) Pola Lisensi
Pola lisensi (lihat Gambar 4) dilaksanakan penyerahan suatu atau beberapa hak teknologi (lisensi) dari lisencor kepada lisencee perlu tunduk pada sejumlah ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak karena dalam ketentuan dan syarat tersebut masing-masing menentukan “bussiness expectation” dari komitmen hukum yang diperjanjikan. Melalui ketentuan dan syarat tersebut hak (keuntungan yang diharapkan) dan kewajiban (pengorbanan) masing-masing pihak ditetapkan seimbang dan adil.
Gambar 4. Alih teknologi oleh Unit Intermediasi/ TTO dengan pola lisensi.
Diantara berbagai ketentuan dan syarat tersebut yang perlu mendapat perhatian utama diantaranya:
a) Eksklusifitas atau non-eksklusifitas
Pemberian dan penerimaan lisensi dapat bersifat eksklusif dan non-eksklusif, dapat ditinjau dari segi lisencor atau lisencee dengan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk kepentingan pemasaran yang luas, Licensor biasanya menghendaki pemberian lisensi yang non-ekslusif, sehingga lisensi itu dapat digunakan oleh lebih banyak lisencee.
b) Pembatasan jenis kegiatan
Biasanya lisensi tidak diberikan tanpa batas, dan pembatasan tersebut dapat ditentukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut diantaranya:
- Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi serta menggunakan merek dagang untuk menjual produk yang bersangkutan.
- Lisencee dapat menerima hak know how untuk memproduksi, tetapi hak menggunakan merek dagang diberikan kepada Licensee lain guna memasarkannya.
- Lisencee hanya mendapatkan hak untuk menggunakan merek perusahaan dalam menjalankan usahanya sendiri.
- Lisencee tergantung dari keadaan, bahkan dapat menerima hak know how, hak untuk mengembangkan, hak untuk memasarkan, termasuk mengekspor ke wilayah hukum lain.
2) Pola Spin-Out (memunculkan usaha baru)
Pola spin-out atau memunculkan usaha baru (lihat Gambar 5) dilaksanakan melalui inkubasi teknologi dan bisnis dimana target utamanya adalah menghasilkan usaha baru yang berkelanjutan dan kompetitif, atau PPBT (Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi).
Gambar 5. Alih teknologi oleh Unit Intermediasi/ TTO dengan pola spin-out.
C. Urgensi Lembaga Intermediasi Alih Teknologi
Fenomena-fenomena internal dan global di atas tentu saja menuntut lahirnya paradigma baru dalam pengembangan teknologi. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah buruh murah, dan posisi strategis, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Meskipun teori keunggulan komparatif (comparative advantage) telah bergeser dari hanya memperhitungkan faktor-faktor produksi (tanah, buruh, sumberdaya alam, dan modal) menjadi berkembangnya kebijakan pemerintah di bidang moneter dan fiskal, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor-faktor tersebut. Daya saing tidak dapat diperoleh dari faktor upah rendah, tingkat bunga rendah, maupun subsidi saja, tetapi bisa pula didapatkan dari kemampuan mereka untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan.
Perubahan pada tatanan globalisasi harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan daya saing. Michael E. Porter (1990) menggambarkan bahwa faktor keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi (innovation).
Dasar tekno-ekonomis prakarsa pengaturan Audit Teknologi adalah pemenangan persaingan global melalui strategi menghadapi politik ekonomi negara maju dan peningkatan daya saing industri Indonesia. Peningkatan ekonomi secara signifikan akan dicapai apabila bangsa ini mampu menghadapi tekanan ekonomi negara maju serta peningkatan daya saing melalui inovasi dan difusi teknologi.
Persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) memuat norma-norma dan standard perlindungan bagi kekayaan intelektual manusia dan menempatkan perjanjian Internasional di bidang hak atas kekayaan intelektual sebagai dasar pengaturan hukum dalam bidang alih teknologi baik yang berkaitan dengan lisensi. Untuk itu perlu menjabarkan dengan tegas dan harus bagaimana mekanisme pengalihan teknologi dari pemilik teknologi asing kepada teknologi Indonesia, sehinga produksi suatu teknologi akan lebih meluas ke negera-negara berkembang.
Alih teknologi pada kenyataannya harus dibeli dengan harga tinggi. Teknologi pada hakekatnya telah menjadi komoditi yang mahal dan langka karena banyak diminta, keadaan tersebut makin tertampilkan karena alih teknologi Penanaman Modal Asing selalu dikaitkan dengan bidang yang menjadi otoritas IPR (Intelektual Property Right). IPR telah larut dalam tahap pemilihan teknologi yang digunakan, pada tahap produksi dan begitu pula pada saat produk dipasarkan. Bahkan disinyalir IPR telah menjadi komoditi dagang itu sendiri.
Kita dapat melihat bahwa alih teknologi bukan merupakan hal yang mudah dan murah tapi sesuatu yang mahal. Membutuhkan perhitungan yang matang dalam kerangka memajukan teknologi dalam era globalisasi. Indonesia dalam menghadapi era globalisasi mau tidak mau harus berani menerapkan perjanjian alih teknologi dalam kerangka menghindarkan ketertinggalan dengan negara lain pada era globalisasi. Oleh karena itu, pengembangan lembaga intermediasi teknologi menjadi penting untuk membantu proses alih teknologi menjadi aspek penting dalam rangka meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa.
Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung penguasaan pemanfaatan dan pemajuan Iptek secara nyata telah dijabarkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Penilaian dan Pembangunan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang Iptek. Munculnya PP No. 20 tahun 2005 masih belum menjamin optimalnya proses difusi dan alih teknologi kepada masyarakat, apabila peran intermediasi dalam lembaga iptek tidak berjalan. Karena proses difusi dan alih teknologi dapat berjalan dengan baik apabila perguruan tinggi dan lembaga litbang dapat berperan sebagai lembaga intermediasi.
Perlu disadari bahwa, betapapun idealnya pengaturan mengenai alih teknologi, pada akhirnya segalanya tergantung kepada kemampuan kita sendiri untuk menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang bersangkutan. Oleh karena itu, peran serta berbagai instansi yang terkait untuk lebih meningkatkan efektifitas alih teknologi perlu diintensifkan, yaitu dengan pengembangan lembaga intermediasi teknologi oleh Perguruan Tinggi dalam rangka mendorong proses alih teknologi terutama untuk komersialisasi kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti di Perguruan Tinggi.
D. Lembaga Intermediasi
Pada dasarnya, lembaga intermediasi berperan sebagai mediator dalam berbagai macam konteks. Istilah Lembaga Intermediasi sering digunakan di sektor Perbankan, yaitu pada konteks intermediasi keuangan. Intermediasi keuangan diperankan oleh Perbankan, yakni proses pembelian surplus dana dari sektor usaha, pemerintah maupun rumah tangga, untuk disalurkan kepada unit ekonomi yang defisit. Fungsi intermediasi keuangan muncul sebagai akibat dari mahalnya biaya monitoring, biaya likuiditas dan risiko harga (price risk) karena adanya informasi yang tidak simetris antara pemilik dana (household/net savers) dengan perusahaan pengguna dana (corporations/ netborrowers) sehingga dibutuhkan pihak perantara (intermediary) yang mampu mengakomodir kebutuhan kedua belah pihak (Saunders, 2008). Lebih lanjut, Saunders (2008) mengemukakan bahwa fungsi dan peranan intermediasi keuangan yaitu: (1) fungsi sebagai ‘broker’ atau ‘makelar’, (2) fungsi sebagai pentransformasi asset, (3) berperan sebagai pengemban delegasi monitoring, (4) berperan sebagai penghasil informasi.
Pada masa saat ini, peran intermediasi erat kaitannya dengan topik inovasi. Lembaga Intermediasi merupakan organisasi jasa, yaitu organisasi bisnis jasa yang bergantung pada pengolahan berbagai macam pengetahuan (yang disebut sebagai kegiatan knowledge-intensive). Lembaga Intermediasi dalam konteks alih teknologi ada bilamana ada hambatan komunikasi antara inventor dengan industri pengguna, dan hambatan akses industri pengguna kepada inventor atau sebaliknya. Pada hakekatnya Lembaga Intermediasi Alih Teknologi merupakan agen yang memfasilitasi difusi pengetahuan (Aldrich dan von Glinow, 1992), dan berperan sebagai fasilitator proses inovasi (Bessant dan Rush, 1995). Lembaga intermediasi dalam hal ini memiliki peran untuk menjembatani atau memfasilitasi komunikasi antara inventor dan industri dalam proses alih teknologi melalui komersialisasi kekayaan intelektual. Adanya peran aktif Lembaga Intermediasi dalam proses manajemen inovasi suatu organisasi menunjukkan bahwa lembaga intermediasi jelas merupakan bagian dari suatu sistem inovasi. Lembaga Intermediasi dapat berperan aktif untuk meningkatkan kualitas aliran informasi, salah satunya dengan menjembatani proses komunikasi antar organisasi, terutama antara peneliti dengan pihak industri pengguna.
Lembaga Intermediasi (LI) merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai lembaga penghubung (mediatory) dari sumber-sumber produktif pengembangan usaha maupun pengembangan teknologi dengan penggunanya baik masyarakat maupun UMKM. Lembaga ini dapat berupa Unit khusus yang “independen” (memiliki otonomi/ kewenangan pengelolaan organisasi yang relatif tinggi). Tabel berikut ini menjelasakan tentang jenis lembaga intermediasi dan fungsi/ layanannya yang ada di Indonesia:
Tabel 1. Jenis lembaga intermediasi/ TTO dan fungsi/ layanannya.
No |
Jenis Lembaga |
Fungsi/ Layanan |
1 |
Sentra HKI |
· Mendukung pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui kegiatan penelitian dan PPM yang berorientasi HKI, meningkatkan kerjasama kelembagaan, dan menfasilitasi pengelolaaan HKI bagi civitas akademika dan masyarakat luas. · fungsi : o mendorong program penelitian dan pengembangan khususnya yang berorientasi HKI o melaksanakan inventarisasi dan sosialisasi HKI bagi civitas akademika dan masyarakat. o memberikan layanan informasi mengenai hasil penelitian dan pengembangan dalam upaya memperoleh perlindungan HKI o membantu masyarakat, dalam proses perolehan HKI o memacu upaya komersialisasi produk-produk HKI o melaksanakan program alih teknologi dari kekayaan intelektual
|
2 |
Pusat Inovasi |
· Layanan HKI menyeluruh · mefasilitasi berbagai penelitian unggulan · Komersialisasi hasil penelitian · Layanan Inkubator Bisnis · Konsultansi |
3 |
Lembaga Konsultasi |
· Memberikan pelayanan jasa di bidang perencanaan, pelatihan, riset, pendampingan, konsultasi bisnis dan konsultasi manajemen, untuk membantu dalam mengatasi bisnis maupun komersialisasi teknologi melalui pendampilan untuk: 1. Studi kelayakan bisnis 2. Perencanaan dan pengembangan produk dan jasa 3. Strategi pemasaran 4. Pengelolaan keuangan 5. Pengelolaan SDM |
4 |
Business Center |
Merupakan lembaga yyang berfungsi menjembatani proses Inovasi yang terdapat dalam Akademisi, Bisnis dan Pemerintah (ABG). Di dalam kegiatannya terdapat upaya identifikasi Pelaksanaan transfer teknologi serta usaha komersialisasi hasil penelitian dan pengembangan. |
5 |
Inkubator Bisnis/ Teknologi |
· Suatu organisasi yang menawarkan berbagai pelayanan pengembangan bisnis dan memberikan akses terhadap ruang / lokasi usaha dengan aturan yang fleksibel. · Peranan: o Mempercepat penumbuhan wirausaha baru o Mengembangkan dan memperkuat usaha yang telah dijalankan oleh wirausahawan |
Sumber: diolah Konsultan dari berbagai sumber.
Lembaga intermediasi/ TTO merupakan organisasi jasa. Beberapa skolar (Howells, 2006; Miles, 2000; Miles et al., 1995) memberikan label knowledge-intensive business services (KIBS) yang menekankan bahwa lembaga intermediasi merupakan organisasi bisnis jasa yang bergantung pada pengolahan berbagai macam pengetahuan (yang disebut sebagai kegiatan knowledge-intensive). Howells (1999) menekankan bahwa lembaga intermediasi adalah jenis organisasi jasa yang berperan dalam proses intermediasi inovasi. Lembaga ini turut berperan dalam proses manajemen inovasi dalam suatu perusahaan (Howells, 2006; Czarnitski dan Spielkamp, 2000).
Lembaga intermediasi/ TTO sangat menentukan model komunikasi yang akan dibangun dalam menjembatani antara supply (ilmuwan, teknolog, peneliti dan akademisi) dan demand (bisnis/industri). Intermediator harus memiliki kemampuan menerjemahkan istilah teknis para peneliti, selain itu juga harus mampu memahami pasar dengan baik. Proses intermediasi teknologi akan dianggap berhasil dengan indikator terciptanya kerjasama antar kedua belah pihak.
Lembaga intermediasi/ TTO sebagai simpul penghubung antara industri dengan institusi pengembang teknologi. Jenis lembaga intermediasi dapat berupa sentra HKI, Lembaga Konsultasi, Pusat Inovasi, Lembaga Litbang, Business Center, dan Inkubator Bisnis/Teknologi. Sementara itu, perguruan tinggi tercatat sebagai institusi yang terbanyak memiliki lembaga yang secara tipikal menjalankan fungsi intermediasi antara lain LPPM, sentra HKI dan unit lain yang melaksanakan fungsi penelitian.
Lembaga Intermediasi/ TTO merupakan struktur organisasi yang berperan inti umum adalah untuk membantu organisasi penelitian publik (PRO – Public Research Organization) dalam mengelola aset intelektual mereka dengan cara yang memfasilitasi transformasi mereka menjadi manfaat bagi masyarakat. Dalam melakukan hal ini, Lembaga Intermediasi/ TTO membantu untuk menjembatani kesenjangan antara penelitian dan inovasi. Peran umum ini dapat menurun ke yang lebih spesifik termasuk:
1. menjalin hubungan dengan perusahaan dan aktor masyarakat;
2. menghasilkan dukungan pendanaan baru dari penelitian yang disponsori atau konsultasi;
3. memberikan bantuan pada semua bidang yang terkait dengan kewirausahaan dan kekayaan intelektual (IP – Intellectual Property);
4. memfasilitasi pembentukan perusahaan terhubung-universitas memanfaatkan teknologi PRO (start-up) dan / atau orang-orang universitas (spin-off) untuk meningkatkan prospek pengembangan lebih lanjut; dan
5. menghasilkan royalti bersih untuk PRO dan mengembangkan kerjasama penelitian baik kerjasama dua pihak maupun dalam bentuk klaster inovasi.
Dalam rangka mencapai peran yang ditugaskan, Lembaga Intermediasi/ TTO yang melakukan kegiatan alih teknologi yang melibatkan kontrak antara PRO dan pihak ketiga memiliki lingkup kegiatan dan bentuk layanan yang bervariasi. Bentuk-bentuk layanan tersebut antara lain: penelitian kolaboratif, penelitian kontrak, konsultasi, spin-off dan memulai perusahaan baru, fasilitas inkubator, perizinan, dan paten.
Tahap pengembangan dan karakteristik Lembaga Intermediasi/ TTO bervariasi secara signifikan di seluruh konteks kelembagaan dan nasional. Terutama, tidak setiap Lembaga Intermediasi/ TTO menangani berbagai mekanisme alih teknologi atau semua kegiatan paten dari perguruan tinggi afiliasi-nya. Hal ini terutama terjadi di negara-negara dimana penemu memiliki hak untuk Kekayaan Intelektual (KI) atau melanjutkan tahap komersialisasi dengan berkolaborasi dengan perusahaan.
Video tentang Technology Tranfer Office (TTO):
sumber: https://www.youtube.com/watch?v=jJrIg9OgZI8
Referensi:
- Technology Transfer & Commercialization Guide for PASSHE Faculty. Link:https://drive.google.com/file/d/1bkOMOmBzIltoT978MoTIKRIGylv-1qX7/view?usp=sharing
- Inventor’s Guide to Technology Transfer. Link: https://drive.google.com/file/d/1WEdmeCwJZ8_eAjtiqtOi7fpR5-CD16qv/view?usp=sharing
- Technology
Transfer Initiative Benchmarking Tech Transfer Summary. Link: https://drive.google.com/file/d/1UrSlmjCz3gBUyNlV9BUDgSWDeqL0J_H3/view?usp=sharing
- Technology Transfer in Countries in Transition: Policy and Recommendations. Link: https://drive.google.com/file/d/1iq-IqKU8mZcTVkTsSwwEF29tmjDmDw8H/view?usp=sharing
- A Guide To Technology Transfer. Link: https://drive.google.com/file/d/1MBe8ZrId1m5jqW4njGrrsB43Zeiq86s1/view?usp=sharing
Link Penting:
- Oxford University Innovation: https://innovation.ox.ac.uk/news/oxford-university-innovation-new-name-isis-innovation/
- USF Research & Innovation, Technology Transfer: https://www.usf.edu/research-innovation/pl/
- Technology Transfer Office (TTO), San Diego State University: https://research.sdsu.edu/tto
|
|
+62 812-9614-6386 +62 818-0913-4457 |
|
||
|
|
CV Penulis: https://drive.google.com/file/d/1LwXWQDGS8xVbAtKpV3_XOrELy3KAWS99/view?usp=sharing
Google Sholar Penulis
Link: https://scholar.google.com/citations?hl=id&view_op=list_works&gmla=AJsN-F6F3vEvezSjLOHk002jLjmGv6v_l42xK6WWNnVjYGiX98SWMB5eTGXY7EBmjzYMxqmPIIAHtZl0lil5k6tpaMdFgqJRmExXDdaEIJXKvSc6vp8OMJs&user=sSHR7sMAAAAJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar