PELEBURAN LPNK & LEMBAGA LITBANG K/L KEDALAM BRIN DILIHAT DARI KEBUTUHAN PLATFORM RISET & INOVASI KE DEPAN
Oleh: Susalit Setyo Wibowo
Pengantar
Presiden Jokowi ingin Indonesia tak hanya menjadi konsumen, tapi juga produsen teknologi yang berdaulat. Presiden Jokowi meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengonsolidasikan seluruh peneliti dan inovator untuk mengembangkan teknologi nasional. Namun demikian, dalam implementasi dibawah diterjemahkan lain dalam bentuk peleburan semua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) maupun Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian/Lembaga, atau Lembaga Litbangjirap. Pembentukan BRIN berdampak pada eksistensi beberapa Lembaga Litbangjirap, dimana dileburkan didalam BRIN. BRIN saat ini telah menjadi "superbody riset" di Tanah Air.
Pertanyaan mendasarnya, apakah pembentukan BRIN ini merupakan jalan yang tepat untuk menjawab tantangan era disruption (yaitu masa di mana terjadi inovasi dan perubahan secara masif)? Apakah dengan terbentuknya BRIN akan menciptakan model bisnis riset dan inovasi yang lebih terbuka, atau sebaliknya? Apakah dengan terbentuknya BRIN akan menciptakan platform riset dan inovasi yang tepat untuk menjawab tantangan masa depan?Jika kita melihat visi Indonesia 2045, yaitu menjadi negara berpendapatan tinggi sehingga mampu menjadi bagian dari lima besar kekuatan ekonomi dunia, apakah pembentukan BRIN dan model bisnis riset dan inovasi yang dikembangkan BRIN saat ini akan mampu mewujudkan visi Indonesia 2045 tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan kegundahan penulis terkait dengan masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia. Ada 2 kemungkinan yang terjadi, yaitu keberadaan BRIN akan membuat iptek di Indonesia bermasa depan cerah, atau sebaliknya akan bermasa depan suram. Kita akan melihat bersama untuk mengikuti apa yang akan terjadi dengan iptek di Indonesia, paling tidak, tiga tahun yang akan datang.
Penulis akan coba membahas peleburan Lembaga Litbangjirap kedalam BRIN dilihat dari kebutuhan platform riset dan inovasi ke depan untuk menjawab tantangan era disruption, yaitu masa di mana terjadi inovasi dan perubahan secara masif. Sebuah perubahan yang terjadi secara fundamental sehingga mengubah berbagai sistem dan tatanan ke cara yang baru.
Tren Platform Riset dan Inovasi Di Era Disruption
Di era disrupsi teknologi ini, terjadi perubahan yang sangat cepat yang mengakibatkan banyak perusahaan tidak mampu mempertahankan bisnisnya. Diperkirakan sekitar 40% perusahaan terkemuka di dunia tidak akan mampu bertahan apabila tidak segera mempersiapkan diri menghadapi era ini. Kata kunci untuk dapat bertahan di era disrupsi teknologi ini adalah inovasi.
Pada era disrupsi teknologi ini dibutuhkan suatu model bisnis inovasi yang lebih terbuka, dimana organisasi atau perusahaan dalam proses inovasinya dimungkinkan menggunakan ide dan/ atau pengetahuan yang bersumber dari luar, konsep ini sering dikenal sebagai open innovation.
Dengan menerapkan pola Open Innovation, maka inovasi yang kita lakukan dapat dilepas ke pasar lebih cepat dan pada momentum yang tepat, hal ini yang dikehendaki oleh Presiden Jokowi (lihat Video dibawah). Open Innovation dicirikan oleh: 1). Dorongan oleh pasar; 2). Basis teknologi internal; 3). Basis teknologi eksternal; 4). Lecence, spin out, divestasi; 5). Penanganan usaha internal/eksternal; dan, 6). Insourcing teknologi eksternal.
Video dibawah menjadi fakta ketidaksinkronan antara keinginan Presiden Jokowi dengan Kepala BRIN.
Di era disrupsi teknologi ini dibutuhkan suatu perubahan paradigma terkait platform inovasi yang akan digunakan. Pola pikir lama yang membelenggu para pemangku kepentingan inovasi akan mengakibatkan kekalahan dalam disrupsi. Disrupsi menjadi terasa sangat berat ketika banyak orang, termasuk inovator, wirausahawan dan regulator, tidak tahu dan paham apa yang tengah terjadi saat ini.
Definisi platform inovasi menurut OECD (1999) adalah pendekatan untuk meningkatkan kolaborasi multi-pemangku kepentingan dalam inovasi. Platform Inovasi memfasilitasi interaksi dan kolaborasi di dalam dan antara jaringan pelaku dan pengguna inovasi. Platform inovasi memiliki tujuan untuk pengenalan dan pemanfaatan dari setiap pengetahuan baru (teknologi atau lainnya) dalam proses ekonomi atau sosial.
Di era industry 4.0 ini dibutuhkan sebuah platform Inovasi 4.0. Platform Inovasi 4.0 adalah pendekatan dengan mengintegrasikan strategi mitra dengan supplier dan konsumen melalui sistem yang tangguh dan memiliki kolaborasi antara pemasaran dan penelitian yang kuat. Dalam pelaksanaannya sangat ditekankan fleksibilitas dan kecepatan pengembangan dengan fokus pada kualitas dan faktor lainnya. Keuntungan dari platform inovasi kolaboratif ini adalah menumbuhkan rangsangan inovasi didalam sebuah lingkungan ekosistem inovasi, yang dikenal sebagai Klaster Inovasi.
Menurut Engbert-Jan Sol (2016) bahwa tren inovasi sejak 2010 adalah Inovasi 4.0, dimana karakteristiknya adalah ekosistem jaringan inovasi, yaitu dari pelaku tunggal menjadi multi-pelaku yang terlibat dalam proses inovasi (lihat Gambar 1).
BRIN Sebagai Pelaku Tunggal Dalam Riset dan Inovasi Di Indonesia
Berdasarkan penjelasan tentang tren platform inovasi ke depan, maka penulis berpendapat bahwa pembentukan BRIN sebagai "superbody riset" di Tanah Air justru sangat bertentangan dengan tren yang terjadi saat ini, dimana pelaku riset dan inovasi yang terlibat semula tunggal menjadi multi-pelaku.
Dengan semua Lembaga Litbangjirap dilebur dalam satu lembaga yang bernama BRIN, maka justru yang semula multi-pelaku dalam riset dan inovasi (Lembaga Litbangjirap) menjadi pelaku tunggal hanya oleh BRIN. Dengan demikian pola riset dan inovasi yang dilakukan oleh pelaku tunggal ini akan cenderung menerapkan Close Innovation atau Inovasi Tertutup. Artinya ada sebuah kemunduran paradigma dalam model bisnis pelaksanaan riset dan inovasi sebagaimana yang terjadi pada tahun 1980-an. Sedangkan tatangan saat ini menuntut untuk menerapkan pola Open Innovation, yaitu menerapkan platform Inovasi 4.0. Penulis memprediksi bahwa kondisi ini tentu saja akan menyebabkan kemunduran iptek di Indonesia secara signifikan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Masyarakat Pemajuan Iptek dan Inovasi (MPI) pada Senin, 28 Maret 2022 lalu, dinyatakan bahwa telah terjadi kemunduran iptek di Indonesia pasca peleburan litbangjirap ke dalam BRIN melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Peleburan litbangjirap ke dalam BRIN justru ancaman terhadap keberhasilan visi Presiden Jokowi tentang kemajuan iptek, terutama oleh kepemimpinan BRIN dalam melaksanakan seluruh manajemen proses transisi yang hampir satu tahun sejak April 2021.
Organisasi BRIN saat ini menjadi badan sangat "gemuk". Layaknya manusia, badan yang gemuk akan lebih lamban dibanding badan yang ramping. Organisasi yang ramping dapat melayani pelanggan secara lebih customized, memiliki kemampuan untuk menggali peluang-peluang secara lebih beragam dan lebih luas.Dan dampaknya adalah pada pembiayaan terhadap kegiatan riset menjadi relatif sangat kecil dan sifatnya "printhilan" atau bisa disebut "small many" (lihat Tabel dibawah).
Penulis memprediksi bahwa BRIN ini selain akan menjadi organisasi yang berkinerja lamban, juga akan cenderung menjadi organisasi yang "cost center". Hal ini didasarkan pada fakta bahwa BRIN merupakan badan yang "gemuk", pola riset dan inovasi yang dilakukan oleh pelaku tunggal yang cenderung menerapkan Close Innovation atau Inovasi Tertutup, keluaran yang ditargetkan hanya pada publikasi dan paten saja, serta tidak ada lembaga yang menjadi Technology Transfer Office (TTO) untuk proses komersialisasi hasil riset.
Fungsi Pusat Riset dan Alih Teknologi Menyatu Di BRIN
Jika melihat struktur organisasi dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) setiap unit yang ada didalamnya, maka fungsi riset dan fungsi alih teknologi menyatu dalam BRIN. Kedua fungsi ini tidak akan efektif jika ada dalam sebuah badan riset, harus ada pemisahan secara organisasi, karena ada perbedaan mendasar dari sebuah badan riset dengan badan alih teknologi.
Komunikasi antara inventor/periset dengan industri pengguna sering kali tidak mudah dilaksanakan, dimana faktor gaya bahasa yang digunakan oleh inventor/periset dan industri sangat berbeda (Johnson dan Johnston, 2004; Santoro dan Chakrabarti, 1999). Periset dengan gaya bahasa akademis sementara pihak industri pengguna menggunakan bahasa bisnis praktis. Faktor lain yang menyebabkan ketidakmulusan komunikasi antara periset dan industri pengguna adalah akses ke periset (Benner dan Sandstrom, 2000; Fontana et al., 2006; Gulbrandsen dan Smeby, 2005). Tak jarang pihak industri pengguna mengeluhkan rumitnya akses ke periset, disebabkan proses birokrasi lembaga riset yang dirasa berbelit-belit. Untuk mengatasi faktor-faktor penghalang komunikasi periset dengan industri pengguna, lembaga intermediasi memiliki peran sebagai penghubung antara kedua belah pihak.
Disamping itu, tren alih teknologi telah bergeser dari pola riset dimana peran pemerintah dalam pendanaan riset sangat besar, menjurus pada inovasi tertutup (close Innovation), dan interaksi dengan industri dilakukan tidak intensif dengan hanya mengandalkan kepada hubungan antara dosen dan mantan mahasiswanya, atau hubungan personal (lihat Gambar 2), menuju kepada tren alih teknologi yang lebih fleksibel, ada cara pandang yang berbeda terhadap kekayaan intelektual, inovasi terbuka (open innovation), dan merubah model industri (lihat Gambar 3).
Fungsi alih teknologi harusnya dilakukan oleh Lembaga Intermediasi atau Technology Transfer Office (TTO). Pada dasarnya, lembaga intermediasi berperan sebagai mediator dalam berbagai macam konteks. Peran intermediasi erat kaitannya dengan topik inovasi. Lembaga Intermediasi merupakan organisasi jasa, yaitu organisasi bisnis jasa yang bergantung pada pengolahan berbagai macam pengetahuan (yang disebut sebagai kegiatan knowledge-intensive). Lembaga Intermediasi dalam konteks alih teknologi ada bilamana ada hambatan komunikasi antara inventor/periset dengan industri pengguna, dan hambatan akses industri pengguna kepada inventor/periset atau sebaliknya. Pada hakekatnya Lembaga Intermediasi Alih Teknologi merupakan agen yang memfasilitasi difusi pengetahuan (Aldrich dan von Glinow, 1992), dan berperan sebagai fasilitator proses inovasi (Bessant dan Rush, 1995).
Oleh karenanya, BRIN sebagai lembaga riset dan sekaligus inovasi harus memiliki Lembaga Intermediasi atau Technology Transfer Office (TTO) yang secara khusus dan profesional melakukan aktivitas alih teknologi semua hasil invensi kepada industri maupun dalam pola pembentukan Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (PPBT). Sebenarnya fungsi alih teknologi ini sebelum ada BRIN pernah dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sehingga BPPT menjadi mitra utama bagi industri, baik BUMN maupun perusahaan swasta.
Salah satu contoh yang pernah dilakukan oleh BPPT adalah saat bekerjasama dengan PT Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII) melakukan kaji terap Front-End Engineering Design (FEED) Pabrik Gula Modern, Terintergrasi dan Terpadu berkapasitas 6.000 ton cane per day (TCD). Selanjutnya FEED ini menjadi referensi dasar Detail Engineering Design (DED) Pabrik Gula Glenmore milik PTPN XII. Dan saat ini, Pabrik Gula PT Industri Gula Glenmore (PT IGG), anak usaha PTPN XII, mampu meningkatkan produksi sebesar 37,8% dari realisasi tahun sebelumnya serta kenaikan rendemen menjadi 8,5%.
Gambar 4. Pabrik
Gula PT Industri Gula Glenmore (PT IGG).
Penutup
Penulis dalam pembahasan peleburan Lembaga Litbangjirap kedalam BRIN dilihat dari kebutuhan platform riset dan inovasi ke depan untuk menjawab tantangan era disruption ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Peleburan seluruh Lembaga Litbangjirap merupakan jalan yang kurang tepat untuk menjawab tantangan era disruption.
2) Peleburan seluruh Lembaga Litbangjirap kedalam BRIN justru menciptakan model bisnis riset dan inovasi yang tertutup, BRIN menjadi pelaku tunggal dalam kegiatan riset dan inovasi di Indonesia. Artinya ada sebuah kemunduran paradigma dalam model bisnis pelaksanaan riset dan inovasi sebagaimana yang terjadi pada tahun 1980-an.
3) Organisasi BRIN saat ini menjadi badan sangat "gemuk", sehingga BRIN ini selain akan menjadi organisasi yang berkinerja lamban, juga akan cenderung menjadi organisasi yang "cost center".
4) Jika melihat struktur organisasi dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) setiap unit yang ada didalamnya, maka fungsi riset dan fungsi alih teknologi menyatu dalam BRIN. Kedua fungsi ini tidak akan efektif jika ada dalam sebuah badan riset, harus ada pemisahan secara organisasi, karena ada perbedaan mendasar dari sebuah badan riset dengan badan alih teknologi.
|
|
+62 812-9614-6386 +62 818-0913-4457 |
|
||
|
|
CV Penulis: https://drive.google.com/file/d/1LwXWQDGS8xVbAtKpV3_XOrELy3KAWS99/view?usp=sharing
Google Scholar Penulis
Link: https://scholar.google.com/citations?hl=id&view_op=list_works&gmla=AJsN-F6F3vEvezSjLOHk002jLjmGv6v_l42xK6WWNnVjYGiX98SWMB5eTGXY7EBmjzYMxqmPIIAHtZl0lil5k6tpaMdFgqJRmExXDdaEIJXKvSc6vp8OMJs&user=sSHR7sMAAAAJ
1 komentar:
Mohon komentar pembaca dengan semangat untuk perbaikan, dan jauhkan komentar yang bernada kebencian dan sara. Kita ciptakan kritik yang membangun.
Posting Komentar